Achmad
Soebardjo lahir di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat pada tanggal 23 Maret
1896. Ia merupakan putra dari pasangan Teuku Muhammad Yusuf dan Wardinah. Sang
ayah masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, Kakek Achmad Soebardjo dari
pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu. Teuku Yusuf
bekerja sebagai pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah
Teluk Jambe, Kerawang. Sedangkan sang ibu merupakan keturunan Jawa – Bugis dan
merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Mulanya,
Achmad Soebardjo diberi nama Teuku Abdul Manaf oleh ayahnya dan Achmad
Soebardjo oleh ibunya. Sedangkan, nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri
setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena Peristiwa 3 Juli
1946.
Achmad
Soebardjo bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan
Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya
di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten
(saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang – undang pada tahun
1933.
Semasa
masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa
Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia menjadi wakil Indonesia
bersama Mohammad Hatta dan para ahli gerakan – gerakan Indonesia pada
persidangan antarbangsa “Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah”
yang pertama di Brussels dan selanjutnya di Jerman. Pada persidangan pertama
tersebut juga hadir Jawaharlal Nehru dan pemimpin nasionalis lainnya yang
terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, Soebardjo aktif
menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada 16
Agustus 1945, para pemuda pejuang termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana,
Shodanco Singgih, dan pemuda lainnya membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke
Rengasdengklok (Peristiwa Rengasdengklok). Tujuannya yaitu agar Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.
Para
pemuda pejuang tersebut kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah
dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta
terjadi perundingan antara golongan muda yang diwakilkan oleh Wikana dan
golongan tua diwakilkan oleh Achmad Soebardjo. Achmad Soebardjo menyetujui
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf
Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput
Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada
Kabinet Presidensial yaitu kabinet Indonesia yang pertama. Pada tahun 1951 –
1952, ia kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Selain itu, ia juga
menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun 1957-1961.
Dalam
bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah
Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan,
Universitas Indonesia.
Pada 15
Desember 1978, Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82
tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan
komplikasi. Kemudian, ia dimakamkan di Cipayung, Bogor.
Pada
tahun 2009, Pemerintah mengangkat almarhum Achmad Soebardjo sebagai salah satu
Pahlawan Nasional Indonesia.
Peranan Achmad Soebardjo
- Berjuang melawan penjajah dengan sikap anti penjajahnya
- Berani bertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya demi kelangsungan kemerdekaan Republik Indonesia dalam Peristiwa Rengasdengklok
- Turut menyumbangkan pemikirannya dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
- Membantu urusan pemerintahan dalam kemerdekaan RI
- Membantu menyelesaikan konflik antara golongan tua dan muda dalam kelangsungan kemerdekaan
- Mengisi pemerintahan sebagai menteri luar negeri pada kabinet Ir. Soekarno
- Aktif dalam berbagai organisasi
- Menjadi profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia
- Menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun 1957 – 1961
Nilai yang Dapat Diteladani
- Bertanggung jawab
- Adil dan bijaksana
- Memiliki semangat patriotisme dan nasionalisme yang tinggi
- Rela menolong tanpa pamrih
- Orang yang sederhana dan tidak sombong
- Cinta terhadap tanah air Indonesia
- Menghargai pendapat orang lain
- Mampu bekerja sama dengan orang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar